MYASTENIA GRAVIS

MYASTENIA GRAVIS

A.PENGERTIAN
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan darisynaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan, dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial.(Dewabenny, 2008)
Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi neuromuskuler yang disebabkan oleh hambatan dan destruksi reseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, miastenia gravis merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor asetilkolin terdapat didalam serum pada hampir semua pasien. Antibodi ini merupakan antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan. (Chandrasoma dan Taylor, 2005)
Miastenia gravis ialah gangguan oto-imun yang menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan lekas lelah.
Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka akibat defisiensi reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuskular.
B. ETIOLOGI
Pembuktian etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar timus mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya.
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan yang dapat memindahkan gaya sarafi yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot.
Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia gravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang berperanan.
C. TANDA DAN GEJALA
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu :
kelemahan local yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya.
Kelemahan ekstremitas tanpa disertai gejala kelainan okular jarang ditemukan
kesulitan mengunyah dan menelan.
Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas dari kesulitan penglihatan. Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral, salah satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis.
D.PATOFISISOLOGI
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps.
Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium dankalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-menerus.







E. PATHWAY


















F. DIAGNOSTIK TEST
1.Test serum anti bodi resptor ACh yang positif pada 90% pasien.
2.Test tensilon : injeksi iv memeperbaiki respon motorik sementara dan menurunkan gejala pada krisis miastenik untuk sementara waktu memperburuk gejala-gejala pada krisis kolinergik.
3.Test elektro fisiologis untuk menunjukan penurunan respon rangsangan saraf berulang.
4.CT dapat menunjukan hiperplasia timus yang dianggap menyebabkan respon autoimun.

G. PENGOBATAN IMUNOSUPRESIF
1. Thymectomi
Untuk pasien dengan neoplasme thymoma, pengangkatan bedah tumor diperlukan untuk mencegah penyebaran tumor. Untuk pasien tanpa thimoma, thymectomi meningkatkan kemungkina remisi. Data efikasi dari thimectomi didukung oleh faktor-faktor seperti jenis teknik bedah dan tidak adanya uji kontrol. Pada pusat-pusat yang berpengalaman, akan tetapi, mortalitas dan morbiditas perioperatif sangat rendah dan diperberat dengan kesempatan penyembukan pada banyak kasus. Ada kontroversi tentang prediktor hasil tapi patologi thimus, usia atau keparahan penyakit tidak reliabel dalam memprediksiremisi. Kalau ada kontraindikasi, timektomi seharusnya dipertimbangkan untuk pasien MG pada semua usia. Prosedur ini nampaknyapaling efektif ketika dilakukan selama 2 tahun pertama penyakit ini. Pengobatan medis MG lebih dahulu sebelum bedah bisa menurunkan morbiditas perioperatif. Imunoglobulin intravena perioperatif (IVIG) atau plasmapheresis sering digunakan untuk stabilisasi pasien dengan MG general.
Ada perdebatan tentang prosedur dan protokol bedah terbaik termasuk extensif transsternal dan juga pendekatan transcervikal dan terakhir teknik endoskopik dan pendekatan kombinasi. Telahdiperkirakan bahwa rseksi yang lebih ekstensif pada jaringan thymus menyebabkan angka remisi yang lebih tinggi tapi hal ini masih akan menjadi kontroversi sampai terdapt perbandingan konklusif.
2. Terapi Medis
Bagi banyak pasien, pengobatan meliputi induksi remisi dengan dosis tinggi imunosupresan. Sekali remisi tercapai, imunosupresan bisa diturunkan bertahap tapi banyak pasien perlu diteruskan paling tidak dengan pengobatan dosis kecil.
a. Kortikosteroid
Obat ini adalah terapi imunosupresif garis pertama dari MG. Banyak pasien dengan gejala memburuk dalam 2 minggu pertama pada permulaan pengobatan ini. Oleh karena itu, terapi kortikosteroid harus diawali dengan stabilisai awal dengan plasmapheresis atau imunogolbulin intravena. Pasien sebaiknya dimonitor dengan teliti pada saat terapi kortikosteroid diawali dan mungkin diperlukan hospitalisasi.
Kortikosteroid menginduksi remisi hingga 50 % pasien dan mencapai 80 % dari semua manfaat pasien dari terapi. Banyak pasien membaik dalam minggu-ninggu pertama pengobatan. Sekali remisi tercapai, kortikosteroid diturunkan secara lambat sampai dosis paling rendah yang mungkin yang tidak menghasilkan keparahan penyakit.
Obat Dosis Monitoring Efek samping
Azatrioprine Meningkat bertahap sampai 2-3 mg/kg/hari peroral Monitor CBC dan fungsi hati tiap minggu selama bulan pertama, 2x selama bulan ke 2 dan ke 3 kemudian tiap bulan Umum : hipersensitifitas GI, mual, muntah
Serius : cancer (jarang), hepatotoksisitas, infeksi, leukopeni, trombositopeni, anemia megaloblastik, pankreatitis Mycophenolate mofetil 1-1, peroral 2x sehari Monitor CBC tiap minggu selama bulan pertama, 2x selama bulan ke 2 dan ke 3 kemudian tiap bulan Umum : konstipasi, diare, mual, muntah, sakit kepala.
Serius : bingung, tremor, perdarahan GI, hipertensi, edema perifer, infeksi, sepsis, cancer (jarang), myelosupresi
Cyclosporine 2,5 mg/kg/hari peroral dibagi 2x sehari, setelah 4 minggu dosis bisa ditingkatkan 0,5 mg/kg/hari selama interval 2 minggu sampai max 4 mg/kg/hari Monitor tekanan darah, CBC, asam urat, potassium, lpid, magnesium, serum kreatinin, dan BUN tiap 2 minggu selama 3 bulan pertama terapi dan kemudian tiap bulan jika pasien stabil Umum : sakit kepala, hirsuitisme, mual, diare, tremor, hiperlasia gum
Serius : anaphilaksis, kejang, hepatotoksisitas, hiperkalemi, hipomagnesemi, hipertensi, infeksi, neprotoksisitas, hemolitik uremic sindrom, parestesia, limphoproliferatif
Komplikasi kortikosteroid meliputi intoleransi glukosa, hipertensi, katarak, ulcer gastrointestinal, myopathy, necrosis avascular pada hip, osteoporosis, infeksi, dan psikosis. Beberapa resiko dapat dikurangi dengan implementasi rendah sodium, diet rendah gula, diikuti suplementasi calcium dan olahraga. Resiko osteoporosis dapat dikurangi dengan pengobatan profilaksis (contoh : alendronat sodium 5 mg/hari oral).
b. Imunosupresi nonsteroid
Karena efek samping kortikosteroid, teknisi sering menggunakan yang disebut medikasi steroid terpisah seperti azatriopin (tabel 22-2). Setidaknya 50 % pasien kelihatannya bermanfaat dengan pengobatan ini. Banyak studi menjelaskan penggunaan obat ini bersama dengan kortikosteroid, tidak sebagai monoterapi. Efek samping umumnya ringan tapi dapat mencakup sumsum tulang dan keracunan hepar, untuk alasan ini hitung darah dan fungsi hati perlu dimonitor. Azatrioprin beraksi lebih lambat daripada kortikosteroid. Perbaikan mungkin mulai hanya setelah beberapa bulan pengobatan dan perbaikan maksimal bisa memerlukan waktu 1-2 tahun. Hingga 20 % pasien terjadi reaksi idiosinkrasi terhadap azatriprin selama minggu pertama pengobatan terdiri dari : demam, menggigi, rash, dan gejala gastrointestinal. Pada pasien yang intoleransi ini, azatrioprin harus dihentikan segera.
Akhir-akhir ini, mychopenolat mefetil telah dianggap sebagai terapi adjuvan atau diluar kortikosteroid dan mungkin sebgai monoterapi. Studi pendahuluan menunjukkan perbaikan klinis pada kira-kira ¾ pasien. Onset kegunaan biasanya setelah 1-2 bulan, dengan puncak efek biasanya sekitar 6 bulan. Efek samping dari obat ini berkurang dengan pengobatan alternatif dan meliputi efek samping gastrointestinal, hipertensi dan edema perifer. Pasien sebaiknya dinasehati untuk menghindari paparan sinar UV sambil minum obat. Mycophenolat mefetil dapat menyebabkan penekanan sumsum tulang dan oleh karena itu perlu pengamatan hitung darah. Penggunaan azatrioprin dan mycophenolat mefetil secara terus menerus tidak dianjurkan.
Cyclosporin digunakan untuk pasien dengan MG berat yang tidak dapat dimanage dengan bentuk terapi yang kurang toksik. Efek samping utama mencakup toksisitas ginjal dan hipertensi. Cyclophosphamid merupakan alkilating agent yang telah digunakan pada pasien dengan penyakit refrakter. Efek sampingnya mencakup penekanan sumsum tulang, toksisitas kandung kemihdan resikoterjadi neoplasma. Pengobatan dengan cyclosporin atau cyclophosphamid seharusnya diatur oleh ahli yang mengetahui tentang efek kerugiannya dan mengamati keperluannya.
Bagi semua obat imunosupresi selain kortikosteroid mungkin ada peningkatan resiko jangka panjang terhadap limfoma atau keganasan lain.
c. Pengobatan Jangka Pendek
Plasmapheresis dan IVIG masing-masing menginduksi perbaikan klinis dengna cepat tapi efek terapinya hanya berlangsung cepat (tabel 22-3). Keduanya sering digunakan pada kondisi khusus krisis myastenic. Selanjutnya pengobatan ini juga dapat digunakan untuk menstabilkan pasien yang utamanya dengan thymectomi atau untuk mengobati eksaserbasi yang terjadi selama infeksi, bedah atau untuk menurunkan dosis regimen kortikosteroid.
Plasmapheresis biasanya menghasilkan perbaikan klinis dalam minggu pertama dan berguna biasanya selama 1- 2 bulan. Komplikasinya tidak sering tapi mencakup hipotensi, bradikardi, ketidakseimbangan elektrolit dan infeksi. IVIG mempunyai efikasi yang sam dengan plasmapheresis. Efek sampingnya meliputi malaise, hipersensitifitas, meningitis aseptik dan jarang insufisiensi ginjal, stroke dan infark miokard. Selanjutnya, pasien dengan defisiensi Ig A bisa mengalami anaphilaxis. Pada banyak pasien akan tetapi, IVIG ditoleransi dengan baik.
Telah ada perdebatan apakah plasma exchange atau IVIG yang lebih baik untuk imunoterapi jangka pendek myasthenia gravis pada kenyatannya, pilihan terapi untuk penyakit akut sering bergantung pada kemungkinan terjadinya dan pada sumber yang tersedia pada situasi tersebut.
H. PROSES KEPERAWATAN
Pengkajian
Identitas klien : Meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
Keluhan utama : Kelemahan otot
Riwayat kesehatan : Diagnosa miasenia didasarkan pada riwayat dan pesentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan pasial setelah istirahat sangatlah menunukkan miastenia gravis, pasien mugkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana . riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
B1 (Breathing)
Dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut
B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi
B3 (Brain)
Kelemahan otot ektraokular yang menyebabkan palsi ocular, jatuhnya kelopak mata atau dislopia intermien, bicara klien mungkin disatrik
B4 (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.

B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, disfagia, kelemahan otot diafragma dan peristaltic usus turun.
B6 (Bone)
Gangguan aktifitas/ mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebihan.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan potensial pasien dapat meliputi hal berikut :
1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
2. Deficit perawatan diri yang berubungan dengan kelemahan otot, keletihan umum
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia, intubasi, atau paralisis otot.
J. INTERVENSI
1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
· Tujuan :
Pasien akan mempertahankan pertukaran gas yang adekuat
a. Lakukan pendekatan pada klien dengan komunikasi alternative jika klien menggunakan ventilator
b. Catat saturasi O2 dengan oksimetri, terutama dengan aktifitas
c. Ukur parameter pernafasan dengan teratur
d. Kolaborasi dengn dokter untuk pemberian obat antikolinergik
e. Sucktion sesuai kebutuhan (obat-obatan antikolinergik meningkatkan sekresi bronkial)
2. Deficit perawatan diri yang berubungan dengan kelemahan otot, keletihan umum
· Tujuan ;
Pasien akan mampu melakukan sedikitnya 25 % aktifitas diri dan berhias

a. Buat jadwal perawatan diri dengan interval
b. Berikan waktu istirahat diantara aktivitas
c. Lakukan perawatan diri untuk pasien selama kelemahan otot yang sangat berlebihan atau sertakan keluarga
d. Peragakan tehnik-tehnik penghematan energy
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia, intubasi, atau paralisis otot.
· Tujuan :
Masukan kalori akan adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolic
a. Kaji reflek gangguan menelan dan refek batuk sebelum pemberian peroral
b. Hentikan pemberian makan peroraljika pasien tidak dapat mengatasi sekresi oral atau jika reflek gangguan menelan atau batuk tertekan.Pasang selang makan kecil dan berikan makan perselang jika terdapat disfagia.
d. Catat intake dan output
e. Lakukan konsultasi gizi untuk mengevaluasi kalori
f. Timbang pasien setiap hari.










DAFTAR PUSTAKA

Mardjono, M., 2003, Neurologi Klinis Dasar 9th ed., hal 55,149,348, Dian Rakyat, Jakarta

NINDS Myasthenia Gravis Fact Sheet, 2003. http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.htm
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.
Dewabenny. 2008. Miastenia Gravis. http://dewabenny.com/ 2008/ 07/12/
miastenia-gravis. (3 September 2009)

Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi.
Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 869-871

0 komentar:

Posting Komentar

Design by WPThemesExpert | Blogger Template by BlogTemplate4U